Beberapa minggu yang lalu saya mengadakan parenting seminar di Jawa Tengah, pesertanya adalah orangtua dan guru serta kepala sekolah, dan tema-nya pada saat itu adalah “Pentingnya Pendidikan Karakter Semenjak Dini”. Di salah satu sesi seminar, saya menceritakan tentang kisah nyata tentang merubah anak remaja yang sering pulang malam. Demikian ceritanya,
Ada sebuah keluarga dimana salah satu anaknya sudah duduk di bangku SMA, sebut saja Adi. Dimana seperti remaja pada umumnya, Adi mulai melanggar jam malam yang sudah ditentukan oleh kedua orangtuanya, terutama di malam minggu, seharusnya Adi maksimal pulang ke rumah jam 10 malam, namun Adi kerap kali pulang jam 12 bahkan pernah lebih pagi lagi. Kata teman-temannya “Malulah pada gembok jika pulang jam 10” (saya yakin kita juga dulu pernah mendengar candaan ini hahahah).
Saya lalu bertanya kepada para peserta, apa yang harus kita lakukan jika kita sebagai orangtuanya? Jawaban para peserta sungguh beragam, mulai dari,
- Yah dimarahin ajaAda orangtua yang akan menghardik mereka dengan keras serta dengan ancaman “Kemana saja kamu? Sekalian aja nggak usah pulanggg!!!” (Pernah dengar kata-kata ini Bapak/Ibu? Hahahhaha) lalu dengan setengah mengancam “Lain kali kamu seperti ini lagi, Awasss kamu, ingat ini yang terakhir!” Tetapi ironisnya adalah anak-anak kita tetap melakukan yang sama, yaitu pulang malam bahkan pulang pagi, bahkan nggak pulang karena salah orangtuanya juga yang berbicara sekalian aja nggak usah pulang hahahaha. Dan ironisnya lagi adalah setiap kali Adi pulang malam, papanya selalu mengulangi kata-kata yang sama yaitu “ini yang terakhir yah!”
Bagaimana caranya kata-kata kita sebagai orangtua mau dipegang jika kita tidak pernah melakukan ancaman kita? Jangan pernah mengancam anak-anak kita kecuali kita sungguh-sungguh mau melakukannya. Saya masih sering mendengar ancaman orangtua seperti “Mama usir kamu dari rumah jika kamu masih melakukan hal itu” dan masih banyak lagi yang lainnya, padahal belum tentu kita akan lakukan ancaman kita itu, inilah yang membuat anak-anak kita dengan gampangnya melanggar kembali karena mereka tidak pernah mengenal konsekuensi dari perbuatan mereka. Seharusnya kita membuat konsekuensi yang memang bisa kita jalankan, dan jika mereka melanggar, kita akan lakukan konsekuensi itu, selama itu masih dalam batas kewajaran (Jangan yang seperti diatas, contohnya usir dari rumah dll)
- Yah sudah, dibiarkan saja, mungkin dia akan sadar sendiri
Ada banyak orangtua yang melakukan pembiaran terhadap kelakuan anak-anak mereka dengan harapan semoga mereka bisa sadar dengan sendirinya. Pertanyaannya adalah berapa persen anak yang mampu sadar akan perbuatannya yang negative? Hanya sedikit, sebagian besar dari mereka, akan kebablasan.
Sebaiknya jika memang ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, kita ngobrol dengan anak-anak kita, karena jika mereka bisa diajarkan oleh lingkungan untuk berbuat yang kurang baik, mereka juga bisa diajarkan untuk berbuat yang baik. Sekali lagi bukan pulang malamnya yang negative tetapi apa yang mereka lakukan, itu yang kita tidak tahu, bisa positive bisa pula negative.
Ada baiknya jika memang kita mencari tahu dengan mengobrol dengan anak-anak kita.
Lalu saya kembali melanjutkan cerita tentang keluarga Adi ini.
Pada saat Adi pulang larut malam, dan ini sudah kesekian kalinya Adi melakukan hal itu, Adi pun secara perlahan-lahan membuka kunci pintu rumah dan membukanya “Ngeekkkk…” demikian bunyi pintu rumah tersebut. Namun alangkah kagetnya Adi melihat papanya sedang berdiri di ruang tamu, ekspresi Adi seperti melihat setan. Lalu perlahan ada suara lembut yang keluar “Udah makan belum di?” lalu Adi pun menjawab mengiyakan.
“Tuh kamu bangunin mama kamu, mama kamu sudah daritadi tungguin kamu pulang, sampai ketiduran di sofa, mama daritadi khawatir bgt sama kamu, sekarang kamu bangunin mama dan minta mama pindah ke kamar” pinta papanya kepada Adi. Selanjutnya Adi pun dengan rasa menyesal dan tidak enak hati melihat papa dan terutama mamanya. Adi pun sambil membangunkan mamanya mulai terisak dengan tangisan karena dia sangat menyesal telah membuat mamanya seperti ini. Ntah mengapa Adi mengatakan “Mah, bangun mah, maafkan Adi yah mah udah pulang malam, sehingga membuat mama khawatir, Adi janji mah Adi ngak akan mengulangi lagi perbuatan Adi”
Kenapa Adi melakukan hal itu semua?
Jawabannya hanya satu Bapak/Ibu, hanya cinta kasih yang bisa mengubah dan menyadarkan orang.
Namun ada salah satu orangtua mengatakan “Orangtua edannn, ndak ada orangtua yang seperti itu” disambut gelak tawa hadirin. Saya langsung mengatakan,
“YESSS! Betul pak, tidak ada orangtua yang seperti itu, oleh karena itulah anaknya tidak berubah. Hanya orang gila yang melakukan hal yang sama terus menerus, tapi berhasil hasilnya berbeda. Jika kita mau merubah hasil, rubah caranya”
Saya melihat banyak sekali orangtua yang tetap melakukan cara-cara yang sama tetapi kita berharap anak kita berubah, apakah kita tidak sama dengan orang gila diatas? Masuk akal?