Pada saat saya mengadakan parenting seminar lewat zoom beberapa waktu yang lalu, ada seorang ibu yang bertanya kepada saya, “Pak Rudy, anak saya sekarang sudah menginjak SMA, bagaimana caranya membuat anak saya berhenti dari kecanduan gadget. Anak saya saat ini sudah mogok sekolah dan setiap kali saya melarang dia untuk bermain gadget, anak saya langsung mengamuk dan membanting-banting barang, bahkan saya pernah sempat mau dipukul olehnya, tolong pak Rudy!”
Lalu entah mengapa saya langsung bertanya, “Saya mohon maaf sebelumnya, apakah Ayahnya masih ada?” Lalu sang Ibu pun menjawab, “Ayahnya sudah tidak ada lagi semenjak anak saya berusia 5 bulan.” Nahhh ini dia yang menjadi pangkal masalahnya, karena anaknya tumbuh besar tanpa adanya sosok otoritas (sosok yang disegani dan dihormati oleh anak kita), karena ibunya sudah pasti bukan sosok otoritas bagi anaknya karena kemungkinan besar selalu memberikan apa yang anaknya inginkan karena harus bekerja siang dan malam, sehingga tidak punya waktu untuk anaknya sehingga menjadi orangtua yang terlalu permissive dan toleran sehingga kebablasan.
Jika ayah atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka sosok otoritas ini harus digantikan dengan pihak luar seperti paman, bibi atau gurunya.
Apa sih yang dimaksud dengan sosok otoritas ini? Mengapa penting sekali untuk anak-anak kita terutama dalam menghadapi musim pencarian jati diri anak atau masa remaja?
Untuk menjawabnya saya mau bertanya dulu kepada Bapak/Ibu semua, pada saat kita remaja dulu, apakah ada orang yang sangat kita segani dan sangat kita hormati? Pastinya ada bukan? Sosok itu bisa ayah kita, ibu kita, atau paman, atau guru kita. Setiap kali mereka berbicara sesuatu, entah mengapa kita langsung mendengarkannya dan sebisa mungkin merubah perilaku kita, bukan karena kita takut akan beliau, tetapi karena kita segan terhadapnya. Masuk akal?
Tetapi menurut pengamatan saya, banyak sekali orangtua yang saat ini tidak bisa tampil sebagai sosok otoritas bagi anaknya, karena berbagai macam alasan seperti :
- Tidak punya waktu untuk anak.
Hal inilah yang menjadi dasar dari semuanya. Banyak orangtua saat ini terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam hari dengan alasan untuk kesejahteraan anak juga, sehingga anak jadi tidak dekat kepada orangtuanya. Mereka selalu membelikan mainan yang mahal kepada anaknya, tetapi jarang bermain dengan anak-anaknya. Makanya ada salah satu anak camp kami yang bilang, “Aku tidak butuh mainan dari papa, aku hanya ingin bermain dengan papa”. - Tidak pernah tampil sebagai orangtua yang disegani oleh anak.
Anak-anak kita butuh sosok yang mereka bisa teladani dan mereka bisa contoh bagaimana caranya bersikap kepada orang lain, terutama kepada pasangan hidupnya, kepada Opa Omanya, kepada supir dan pembantu, dan kepada orang banyak. Jika kita selalu memperlihatkan kepada mereka betapa buruknya perlakuan kita kepada orang lain, mereka pun akan mengikuti teladan yang kita berikan, jadinya kita sebagai orangtua harus memberikan teladan kepada anak-anak kita dengan selalu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. - Selalu menyerahkan kendali untuk mendidik anak kepada pihak lain.
Banyak orangtua saat ini karena mereka terlalu sibuk dalam bekerja, selalu menyerahkan kendali untuk mendidik anak kepada guru di sekolah, kepada suster yang mengurus anak kita dan selalu mengatakan, “Saya sudah bayar mahal, sudah seharusnya anak saya dididik dengan benar donk!”
Itulah 3 alasan mengapa kita tidak bisa tampil sebagai sosok otoritas bagi anak-anak kita karena sekali lagi, anak-anak kita butuh figur atau sosok yang disegani dan dihormati olehnya, sehingga pada saat mereka keluar dari jalur yang seharusnya, mereka bisa dikembalikan ke relnya dengan dibantu oleh sosok otoritas ini.
“Tetapi bagaimana donk Pak kalau saat ini kita sebagai orangtua bukanlah sosok otoritas bagi mereka?“
Ya cari siapa yang bisa menjadi sosok otoritas buat anak-anak kita, bisa guru di sekolah mereka, bisa guru di komunitas mereka seperti di masjid, gereja, vihara, pura, dan lain-lain, atau juga melalui mentor atau juga coach dalam program-program remaja saat ini.
Kami sudah terbiasa dalam menjadi penengah antara anak-anak dengan orangtua sehingga kami semua bisa mengambil jalan tengahnya. Kalau kami lihat dan perhatikan, hampir sebagian besar keluarga di Indonesia memerlukan pihak ketiga dalam mendidik anak-anaknya karena entah mengapa orang lain lebih didengar oleh anak-anak kita pada saat ini daripada orangtua mereka. Oleh karena itulah, ada pepatah mengatakan,
“Seorang Nabi tidak diterima di kampungnya sendiri”
Masuk akal kan ya?